Rabu, 16 Maret 2011

problema teater remaja

PROBLEMATIK TEATER REMAJA, Tak Dipercaya Orang Tua

Surabaya – Surabaya Post Festival Teater Remaja (FTR) yang digelar Taman Budaya Jatim (TBJ), agendanya selaian pementasan, pelatihan dan diskusi. Dialog yang digelar Sabtu (2/8) dan pesertanya siswa SMA, menampilkan pemateri Eko ‘Ompong’ Santoso dari Jogjakarta dan AGS Arya Dwipayana (Jakarta). Temanya, “Problematik Teater Remaja”.
Ajang yang dipanduk pemerhati teater Surabaya, R Giryadi itu, para peserta banyak menanyakan sulitnya mengaktualisasi diri. Aktualisasi diri ini disebabkan kesalahan persepsi orang tua terhadap kegiatan teater. “Rata-rata orang tua menganggap kegiatan teater tidak bermanfaat,” kata kata personel Teater Lab 56 SMAN 1 Kalisat Jember.
Padahal, menurutnya, teater banyak manfaatnya. “Saya kesulitan mendapatkan izin dari orang tua jika untuk berlatih teater. Terus, bagaimana saya bisa menjelaskannya dan orang tua bisa paham?,” tambah dia.
Meski begitu, ada pihak lain yang menanyakan manfaat teater. Personel Teater Hitam Putih SMAN 2 Tuban ini secara detail menanyakan manfaat teater. “Kata pembina saya, teater itu manfaatnya sangat luas. Apa yang dimaksud dengan luas?” tanya dia.
Mendapat dua pertanyaan itu, dua narasumber secara bergantian memberikan ilustrasi tentang manfaat teater dan mengapa teater selalu disalahartikan oleh orang tua. Eko Ompong memaparkan, semua kegiatan yang dilakukan pada dasarnya bermanfaat, asal semua dilakukan sungguh-sungguh.
Karena, pada dasarnya berteater itu juga belajar memahami kehidupan. “Segala sesuatu yang kita lakoni dalam hidup ini bisa direfleksikan dalam teater,” kata Eko.
Sebenarnya, jelas dia, teater merupakan bentuk terkecil dari kehidupan. Berteater pada dasarnya mencontoh segala hal yang terjadi dalam kehidupan. Kalau ada perbedaan persepsi dengan orang tua, saran Eko, jangan dijadikan beban tatapi sebagai tantangan.
Sementara AGS Arya yana biasa disapa Mas Aji mempertegas pernyataan Eko. Tujuan berteater, kata dia, tidak hanya sekadar panggung atau pentas saja. Kalau orientasinya panggung, makna teater menjadi sempit. Teater terkait dengan proses yang sangat panjang. “Teater merupakan tempat untuk berlatih bermasyarakat dalam bentuk yang paling sederhana,” jelas dia.
Berteater, di dalamnya terdapat pelajaran bekerjasama, menghormati orang lain, tanggungjawab, disiplin, dan lainnya. Drama atau teater juga bisa untuk pembangunan karakter. Karena didalam teater juga dipelajari tentang olah rasa. Dia mencontoh beberpa sekolah di luar negeri yang mewajibkan pelajaran drama.
Hal ini terkait dengan pembangunan karakter siswa. “Jadi kalau berbicara manfaat, manfaatnya sangat banyak,” katanya.
Mas Aji memaklumi kalau banyak orang tua yang kurang memberikan perhatian pada kegiatan teater. Hal ini disebabkan pemerintah sendiri tidak mempunyai goodwill tentang kebudayaan. Menurutnya pembangunan bangsa hanya melalui pendekatan ekonomi. “Hampir semua pembangunan diorientasikan pada ekonomi,” katanya.
Tidak salah kalau akhirnya banyak orang tua yang mencari selamat. Mereka banyak mengarahkan anaknya untuk berkegiatan yang punya nilai ekonomi. Karena itu untuk meyakinkan orang tua, Mas Aji menyarankan para siswa giat berlatih untuk membuktikan bahwa berteater juga ada manfaatnya. “Anggap saja larangan orang tua sebagai bagian dari proses berteater,” tegasnya.
Tentang seluk beluk berteater juga banyak ditanyakan oleh peserta. Ada yang menanyakan tentang perbedaan antar teater dan drama, bagaimana cara berakting yang baik dan bagaimana metode menyutradarai yang baik?. Seperti diskusi teater remaja sebelumnya, hal senada juga banyak menjadi perdebatan.
Tentang pendekatan penyutradaraan, peserta dari SMAN 1 Kediri mengaku terkendala. Metode otoriter (ditakor) ada kelemahanya, begitu juga pendekatan (demokratis). “Kalau ditaktor, siswa cenderung melawan. Kalau demokratis, sering tidak memenuhi target,” katanya.
Masalah perbedaan teater dan drama, kata Eko, pada dasarnya Indonesia punya sejarah yang panjang tentang pemahaman teater. Dia mengilustrasikan, kata teater tidak popular bagi sebagian orang misalnya orang Betawi. Mereka menyebutnya Tonil.
Kondisi ini menurut Mas Aji, karena factor sejarah. Di Betawi misalnya menyebut tonil, karena kebudayaan yang dibawa oleh penjajah Belanda disebut tonil. Oleh Suryadi Suryadiningrat (KI Hajar Dewantara) disebut sandiwara. “Orang Betawi tidak mengerti teater, tetapi tonil,” katanya.
Sutradara Teater Tetas ini menegaskan, kalau teater pasti berhubungan dengan panggung. Segala sesuatu yang dipentaskan di panggung disebut teater. Apakah di sana ada konfliknya atau tidak, selama pentas di panggung pertunjukan dinamakan teater. “Arti teater pada dasarya gedung pertunjukan,” katanya.
Sementara tentang akting yang baik dan menyutradarai yang baik, Eko menegaskan itu tidak bisa dijawab sebelum ada pertanyaan “Apa?”. “Pertanyaan “bagaimana” hanya bisa dijawab kalau Anda tahu dulu Apa?” kata Eko.
Untuk mengetahui berakting yang baik, pertanyaannya bukan “bagaimana” tapi “apa”. Apa yang ada dalam naskah, apa tokoh, apa karakter, dan apa lainnya. “Kalau tidak tahu apa, tidak bisa menjawab bagaimana. Begitu juga tentang penyutradaraan,” katanya.
Sementara itu saran dari pembina teater di SMA yang juga guru teater SMKN 9 Surabaya, Harwi Mardianto, menyebutkan, kegiatan jambore bisa dimanfaatkan seoptimal mungkin, terutama untuk menjalin komunikasi.
Para peserta sebaiknya saling tukar pengalaman hingga tahu kelebihan dan kelemahan masing-masing sekolah. “Orang teater harus kreatif dan jangan malas,” katanya.
Sementara Pembina SMAN 1 Kediri, menyarankan, TBJ mengadakan FTR di daerah lain, tidak hanya di Surabaya. Sehingga panitia tahu persoalan teater di daerah. Selain itu, TBJ juga mengadalan pelatihan bagi pembina teater di daerah.(gim)

sejarah teater

Sejarah Teater
Kata tater atau drama berasal dari bahasa Yunani ”theatrom” yang berarti gerak. Tontonan drama memang menonjolkan percakapan (dialog) dan gerak-gerik para pemain (aktif) di panggung. Percakapan dan gerak-gerik itu memperagakan cerita yang tertulis dalam naskah. Dengan demikian, penonton dapat langsung mengikuti dan menikmati cerita tanpa harus membayangkan.
Teater sebagai tontotan sudah ada sejak zaman dahulu. Bukti tertulis pengungkapan bahwa teater sudah ada sejak abad kelima SM. Hal ini didasarkan temuan naskah teater kuno di Yunani. Penulisnya Aeschylus yang hidup antara tahun 525-456 SM. Isi lakonnya berupa persembahan untuk memohon kepada dewa-dewa.
Lahirnya adalah bermula dari upacara keagamaan yang dilakukan para pemuka agama, lambat laun upacara keagamaan ini berkembang, bukan hanya berupa nyanyian, puji-pujian, melainkan juga doa dan cerita yang diucapkan dengan lantang, selanjutnya upacara keagamaan lebih menonjolkan penceritaan.
Sebenarnya istilah teater merujuk pada gedung pertunjukan, sedangkan istilah drama merujuk pada pertunjukannya, namun kini kecenderungan orang untuk menyebut pertunjukan drama dengan istilah teater.

Lebih lanjut tentang: Sejarah Teater

teater

adalah cabang dari seni pertunjukan yang berkaitan dengan akting/seni peran di depan penonton dengan menggunakan gabungan dari ucapan, gestur (gerak tubuh), mimik, boneka, musik, tari dan lain-lain. Bernard Beckerman, kepala departemen drama di Universitas Hofstra, New York, dalam bukunya, Dynamics of Drama, mendefinisikan teater sebagai " yang terjadi ketika seorang manusia atau lebih, terisolasi dalam suatu waktu/atau ruang, menghadirkan diri mereka pada orang lain." Teater bisa juga berbentuk: opera, ballet, mime, kabuki, pertunjukan boneka, tari India klasik, Kunqu, mummers play, improvisasi performance serta pantomim.